Tentang Wiji Thukul
PKMP P.IPS 2021
Kelompok 6 - Wiji Thukul
1. Resta Agustiani
2. Ayudhia Nur Luthfia
3. Arohmawati
4. Cindyaningsih Kurniawan
5. Sabrina Widya Vernanda
6. Anisa Surya Lestari
7. Chaidar Irfan Haikal
8. Latif Admadi
BIOGRAFI WIJI THUKUL
Wiji Thukul lahir 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, yang mayoritas penduduknya tukang becak dan buruh. Thukul berasal dari keluarga tukang becak. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, ia berhasil menamatkan SMP (1979), lalu masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Jurusan Tari, tetapi keluar (drop-out) pada tahun 1982. Setelah itu, ia berjualan koran, kemudian oleh tetangganya diajak bekerja di sebuah perusahaan mebel antik sebagai tukang pelitur. Ketika bekerja sebagai tukang pelitur itu, ia sering mendeklamasikan puisinya untuk teman sekerjanya.
Pada 1993, Thukul bersama temannya, Semsar Siahaan, membentuk Jaker (Jaringan
Kerja Rakyat), sebuah jaringan kerja seniman yang bergerak di bidang daya cipta
dan kreativitas. Nyalinya yang tak takut
mati berlanjut pada tahun 1994. Terjadi aksi massa petani di Ngawi, Jawa Timur.
Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi dipukuli aparat militer.
Di tahun 1995, Thukul lagi-lagi menjadi
penggerak demonstrasi besar aksi protes karyawan PT. Sritex. Kala itu, ia
dipukuli aparat sampai cedera pendengaran dan nyaris buta, meninggalkan cacat
mata karena dibenturkan ke sebuah mobil. Semenjak itu, ia diincar karena diduga
menjadi dalang demonstrasi dan puisi-puisinya dicurigai sebagai penggerak massa
melakukan protes.
Pada 22 Juli 1996, Thukul berangkat ke Jakarta
menggabungkan Jaker dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Jadilah Thukul
sebagai Ketua Divisi Propaganda dan Editor Suluh Pembebasan. Awalnya, Jaker memiliki komitmen untuk tidak akan
bergerak di bidang politik. Namun seiring dengan makin bergejolaknya politik di
Indonesia, Thukul memutuskan bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD)
dan terlibat dalam politik praktis.
Sejak tahun 1996, Thukul dikenal sebagai seorang seniman rakyat dan menjadi bagian dari PRD, berpaham sosialis dan beroposisi politik dengan rezim Orde Baru. Di tahun yang sama, melalui puisinya yang berjudul Peringatan, Thukul telah mempopulerkan kata “lawan!”, sampai seorang direktur Komnas HAM, Munir Said Thalib, berkomentar:
“Kalimat pendek itu menunjukkan pilihan hidup Wiji Thukul. Bukan pilihan yang mudah, Wiji Thukul telah membayarnya dengan mahal, dia telah menjadi korban praktek penghilangan orang.”
Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai
dalang kerusuhan. Akibatnya, PRD dibubarkan, para aktivis dijebloskan ke
penjara, sejumlah aktivis yang lain diculik, ditangkap, dan dihilangkan secara
paksa. Sebagai aktivis PRD yang dianggap subversif terhadap negara, Thukul
dijemput aparat di kediamannya di Solo pada Agustus 1996. Namun Thukul menyamar
dan berhasil kabur dengan memakai helm meninggalkan Sipon istrinya, bersama
kedua anaknya yang masih kecil.
Sampai sekarang, Thukul belum juga ditemukan. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tak ada yang mengerti. Kasusnya pun seperti ditutup-tutupi dan tidak ada kabar dari pemerintah untuk mengungkap kasus Thukul. Thukul tidak pernah terlibat dalam tindak kriminal, korupsi, atau represi yang merugikan negara, melainkan memperjuangkan keadilan dan advokasi melalui puisi. Namun, hak hidupnya direnggut tanpa prosedur hukum yang jelas.
Hal yang Dilakukan Wiji Tukul Untuk Rakyat Indonesia
Sebagai buruh, Wiji bukan hanya bekerja tetapi juga berjuang untuk kesejahteraan rekan-rekannya sesama kelas pekerja. Itu pula yang akhirnya membuat puisi-puisi buah karya Wiji Thukul penuh satire mengkritik rezim penguasa yang membungkam dan membuat rakyat menderita. Kata-kata puitisnya kerap menjadi penyemangat para aktivis ketika memperjuangkan kebenaran sejak perlawanan atas rezim Orde Baru yang tumbang pada 1998 silam setelah sekitar 32 tahun berkuasa. Salah satunya pada puisi berjudul Peringatan yang nukilannya berikut ini:
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Perjuangannya sebagai aktivis itulah yang kemudian membuat Widji menjadi
'musuh rezim Orde Baru'. Namanya identik dengan simbol perlawanan akar rumput
terhadap penguasa Orde Baru, Soeharto, terutama lewat puisi dan syair-syairnya
di banyak surat kabar dan mimbar-mimbar bebas. Salah satunya, dalam sebuah
mimbar perayaan hari kemerdekaan 1982, Widji dalam puisinya menyindir
kemerdekaan hanya bisa dirasakan segelintir orang saja di negeri ini.
Dalam puisi berjudul Kemerdekaan itu, Wiji bilang: "Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai". Sebelum aktif bersama Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menjadi simbol perlawanan melalui jalur politik legal, Wiji pernah menjadi pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Jakker adalah organisasi yang bergerak melawan pemerintahan represif Orde Baru melalui jalur kesenian rakyat.
Di struktural PRD, Thukul menjabat sebagai Ketua Divisi Propaganda dan
editor Suluh Pembebasan, suplemen kebudayaan partai. Para aktivis PRD dan
jaringan prodemokrasi lebih luas mendesak agar Soeharto menghapuskan paket 5
Undang-undang Politik, UU Anti-Subversi, UU Pokok Pers, dan Dwi Fungsi ABRI.
Jadi Wiji Thukul melakukan hal yang terkesan dari kata-katanya, beliau sangat
pandai membuat kata-kata untuk mengkritik politik yang tidak sesuai dan tidak
adil. Kata-kata beliau masih berpengaruh sampai sekarang untuk membangkitkan
semangat para kaum yang tidak merasakan keadilan untuk berjuang, berdemokrasi
demi keadilan dan kebenaran.
BERAKHIRNYA PERJUANGAN MEMBELA RAKYAT WIJI THUKUL
Tak hanya sebagai aktivis, nama Wiji Thukul selama ini
dikenal sebagai seorang penulis puisi perjuangan. Yang khas dari puisi
Wiji Thukul adalah bahwa ia bukan menulis puisi tentang protes, melainkan
sosoknya menjadi simbol akan protes itu sendiri. Karena itu, puisinya gampang
melebur dalam setiap momen pergolakan dan berbagai aksi protes. Salah satu
kalimatnya yang sangat terkenal adalah bait terakhir pada puisi berjudul
Peringatan, yaitu "Hanya ada satu kata: Lawan!". Dalam Seri Buku
Tempo, Prahara Orde Baru Wiji Thukul yang diterbitkan Kepustakaan Populer
Gramedia menjelaskan bahwa sebenarnya kata 'lawan' tersebut tak murni ide
Wiji Thukul.
PERISTIWA KADUTULI
Awal mula hilangnya Wiji Thukul tak lepas dari peristiwa 27
Juli 1996 yang dikenal sebagai peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli alias
Kudatuli. Saat itu, PRD yang di bawah pimpinan Budiman Sudjamitko dituding oleh
pemerintah melalui Kepala Staf Bidang Sosial dan Politik ABRI Letnan Jenderal
Syarwan Hamid, sebagai dalang di balik peristiwa itu. Sehingga, para aktivis
PRD diburu, termasuk Wiji Thukul. Ketika itu, Wiji Thukul yang berada di
Solo sebagai Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat atau Jaker yang merupakan
badan yang merapat ke PRD.
Widji Thukul kabur usai beberapa anggota
kepolisian mendatangi rumahnya. Dalam pelarian, Wiji Thukul harus mencuri
kesempatan untuk bertemu dengan Sipon. Paling sering keduanya bertemu di Pasar
Klewer. Setiap bertemu, mereka membuat janji untuk pertemuan selanjutnya. Saat
itu pula, Wiji Thukul menceritakan beberapa daerah yang dikunjunginya dan
beberapa kali ia meminta duit kepada sang istri untuk membiayai hidup pelarian.
Selama pelarian, ia memiliki nama beberapa nama Samaran yaitu Paulus, Aloysius
dan Martinus Martin. Ia juga sering memakai topi supaya tidak mudah dikenali.
Selain itu, Wiji Thukul juga kerap menggunakan jaket saat keluar rumah untuk
menyamarkan badannya yang kerempeng.
MENGHILANG
Pada tahun 1998, Wiji Thukul menghilang. Hilangnya Wiji Thukul secara resmi diumumkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2000. Kontras menyatakan hilangnya Wiji Thukul sekitar Maret 1998 karena diduga berkaitan dengan aktivitas politik yang dilakukan oleh Wiji Thukul sendiri. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde Baru. Sejak dinyatakan hilang, sampai saat ini keberadaannya Wiji Thukul masih misteri apakah ia masih hidup atau sudah tiada.HAL YANG DAPAT DICONTOH DARI PERJUANGAN WIJI THUKUL
Sepanjang hidupnya, Wiji Thukul selalu menyuarakan dan memperjuangkan nasib kaum tani dan buruh yang tertindas melalui cara-cara kesenian dan juga aksi demonstrasinya. Banyak sikap yang dapat dicontoh Generasi muda khususnya Mahasiswa dari perjuangan Wiji Thukul, diantaranya :
1. Fokus pada passion dalam memberikan pengaruhnya
Wiji Thukul sangat produktif dalam passion-nya menulis puisi.
Kemampuannya dalam menangkap realita yang dia alami dan mengubahnya menjadi
puisi-puisi unik yang menbangkitan masyarakat luas mengenai adanya kesalahan
dalam pengelolaan negara pada saat itu menjadi sesuatu yang unik dan berbeda
dari penyair-penyair lainnya. Puisi – puisi yang ia tuliskan menggelorakan
semangat masyarat dan menjadi ikon dalam perjuangan mencapai demokrasi pada era
Orde Baru
Dari Wiji Thukul kita dapat belajar bahwa semua orang mempunyai bakat, minat, passion dan kemampuan yang berbeda yang berkembang menjadi sesuatu kelebihan atau kesuksesan untuk kita. Apabila seseorang ingin menjadi seseorang pemimpin tidak selalu dalam organisasi tinggi, memliki jabatan tinggi atau orang besar. Tetapi niat dari kegigihan dan fokus kita dalam menyalurkan bakat, passion agar mempunyai pengaruh besar yang membawa manfaat di masyarakat. Contohnya, bakat musik, desain, seni, film, melukis, atau apapun itu, kita dapat membawa manfaat dengan fokus dan kerja keras.
2. Tulus
dalam berjuang
Kekuatan terbesar Wiji Thukul adalah melalui syair-syairnya, tulisannya apa adanya dan blak-blakan tanpa memperindah keadaan dan tanpa merubah fakta. Hal ini menunjukkan ketulusan Wiji Thukul dalam berjuang. Ia tulus membela buruh dan kaum tertindas tanpa mengincar uang dan kekayaan pribadi, Ia membantu dan menolong orang-orang yang tertindas atas dasar rasa simpati dan persaudaraan yang ia miliki terhadap mereka.
3. Berani
mengambil resiko dan Tidak takut mati
Wiji
Thukul menyadari bahwasannya karya puisi-puisi yang ia tuliskan akan memicu
amarah dari rezim Orde Baru yang opresif dan dapat membahayakan dirinya bahkan
hingga ancaman kematian. Tetapi Wiji Thukul tidak takut mati, tidak memikirkan
dirinya sendiri dan berani menerima semua resiko apa yang akan terjadi. Akibatnya
matanya terkena senapan saat ia harus berhadapan dengan pihak aparat dan
menyebabkan kebutaan pada sebelah matanya. Keberaniannya dan kegigihannya tidak
membuatnya gentar, Ia tetap berjuang memimpin gerakan demokrasi demi
memperjuangkan keadilan untuk kaum tertindas, kaum tani dan kaum buruh.
Keberanian
Thukul ini sangat patut kita diteladani, apalagi di masa sekarang yang mana
kita memiliki kebebasan lebih luas dibanding pada era Orde Baru. Kita juga
harus menghargai karena upaya Thukul dan aktivis lainnya, musuh yang kita
hadapi kini bukan lagi aparat, tapi ego dan hawa nafsu diri kita sendiri.
Wiji
Thukul dapat selalu menjadi inspirasi dan contoh untuk generasi-generasi muda saat ini. Apabila kita
menghadapi tantangan-tantangan, kita jangan berhenti, jangan mendahulukan ego
kita untuk menyerah dan mundur, maka hanya ada satu kata, lawan!
Semangat
Wiji
Thukul bukanlah seorang petinggi negara yang mempunyai jabatan tinggi atau
bahkan politisi. Ia adalah seorang tukang barang-barang furnitur yang gemar
menuliskan puisi-puisi dan karya – karya laiinnya untuk menyebarkan ide-ide
atau memperjuangkan demokrasi. Setelah yang ia lalui dan kebutaan pada sebelah
matanya, Wiji Thukul tidak patah semangat dan tetap meneruskan semangat
juangnya membela kaum tertindas, dan orang-orang kecil. Ia pun menjadi incaran
aparat pada masa orde Baru karena dianggap membawa pengaruh yang luar biasa
SUMBER REFERENSI
https://gasbanter.com/biografi-wiji-thukul/
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Wiji_Thukul
https://ifllampung.wordpress.com/2017/01/27/pelajaran-kehidupan-dan-kepemimpinan-dari-wiji-thukul/
(indonesian future leaders lampung,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200616100704-20-513764/wiji-thukul-buruh-penyair-dan-penculikan-tim-mawar
Komentar
Posting Komentar